Kamis, 14 Mei 2009

Pendidikan Nilai

BAB I PENDAHULUAN

Keberadaan manusia secara kodrati maupun secara sosiokultural dan yuridis formal selalu utuh dan integratif yang padat nilai, moral dan norma. Manusia utuh memiliki wujud badaniah dan rohaniah. Dalam seluruh aspek kehidupannya, manusia di atur oleh nilai-nilai, norma-norma baik yang berada di lingkungan keluarganya, masyarakatnya bahkan bangsanya. Nilai-nilai atau norma-norma tersebut menjadi milik pribadi dari setiap individu.
Manusia memiliki berbagai potensi, dan potensi-potensi tersebut ingin diwujudkannya dalam realitas kehidupannya. Sebagai makhluk sosial, sesungguhnya manusia ingin untuk menolong orang lain, tapi ia juga ingin ditolong orang lain. Iapun ingin hidup damai dan aman di lingkungannya dengan tidak ingin mengganggu orang lain, tapi ia juga tidak ingin diganggu. Sebagai makhluk individu, manusia juga ingin merealisasikan semua potensi yang dimilikinya.
Kehidupan bersifat siklikal: lahir – berkembang – dewasa – menurun – dan akhirnya mati, atau dari tidak berkemampuan – berkemampuan – mahir – dan kembali bertidakkemampuan. Dalam dunia persekolahan, kehidupan yang bersifat siklikal ini kurang diminati dan dikaji bahkan cenderung dianggap tidak penting. Bahkan dalam pendidikan kewarganegaraan dan agama sekalipun, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian. Lembaga persekolahan tidak lebih dari sekedar mengembangkan kognisi peserta didik, tanpa memperhatikan persoalan afektual peserta didik. Kondisi lembaga pendidikan seperti ini mengakibatkan nilai-nilai yang diajarkan oleh sekolah menjadi tidak mempribadi dalam kehidupan setiap peserta didik. Dampak yang dirasakan adalah nilai-nilai yang diyakini oleh peserta didik menjadi semua, tidak mempribadi dalam kehidupan peserta didik.
Tidak dapat dimungkiri bahwa dehumanisasi yang tampak didepan mata saat ini adalah buah dari kesalahan pendidikan yang menjadikan ratio sebagai tujuan utama. Dengan dalih mengejar ketinggalan dalam bidang IPTEK, pendidikan persekolahan mengabaikan berbagai sendi-sendi kehidupan individu baik. Pendidikan seperti ini lebih banyak menghasilkan manusia yang arogan, individualistis, egoistis, materialistis, sekuler dan mengagungkan hasil ciptaannya sendiri bahkan di hadapan sang penciptanya sendiri.
Dalam dunia yang semakin mengecil ini karena semakin majunya teknik telekomunikasi, menghasilkan manusia utuh semakin sulit. Hampir tidak ada ruang bagi manusia idealistik untuk berkembang. Setiap aspek kehidupan manusia nyaris sudah ditempati oleh ideologi materialistik. Hampir semua keluarga sudah dirasuki ideologi materialistik. Bahkan sebagian pendidik juga tidak dapat melepaskan diri dari ideologi tersebut.
Meskipun tatanan dunia yang materialistik sudah sedemikian rupa, upaya untuk membangun manusia Indonesia yang utuh tidak boleh terabaikan, Harus ada upaya-upaya nyata untuk memperbaiki berbagai konsepsi pendidikan yang sudah banyak menimbulkan dehumanisasi tersebut. Salah satu di antaranya adalah mengintegrasikan pendidikan afektual dalam setiap sisi pendidikan dan kehidupan manusia Indonesia.

BAB II ISI BUKU KAJIAN
A. Potensi Diri Manusia
Manusia lahir dengan membawa potensi kodrati sebagai anugrah dan amanah Ilahi. Potensi tersebut sama pada setiap orang, serta potensial dan syarat akan keterbatasan. Wujud dan jenisnya adalah ragawi dan rohani serta jiwa. Potensi rohani yang dibawa sejak lahir adalah alam pikiran dan kejiwaan dengan berbagai kemampuannya. Potensi ini menjadi fokus telaah pendidikan. Oleh sebab itu, proses pendidikan harus mengembangkan potensi rohaniah ini secara utuh, bukan terklasifikasi sebagaimana dikemukakan Bloom. Keutuhan dan keterpadu-an ketiga dunia tersebut (kognitif, afektif dan psikomotor) akan mampu melahirkan hasil pendidikan, yakni individu yang mampu melaksanakan secara baik dan benar, serta layak dengan penuh keyakinan dan nalar.
Kemampuan berpikir, jenis serta peringkat otak ini memiliki ketentuan yakni harus dikembangkan secara bertahap yakni bertahap sesuai dengan peringkat perkembangan usia individu. Eipsten, seorang tokoh yang menggeluti dunia otak manusia, mengungkapkan hal-hal sebagai berikut: (1) sel-sel otak manusia dilengkapi unsur neuron dan cabang-cabangnya dalam membentuk trilyunan sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami akhirnya sambungan yang tidak atau jarang digunakan akan mengalami atrofi. (2) pemantapan sambungan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu meng-hasilkan letupan-letupan listrik. Letupan tersebut merangsang bertambahnya produksi myelin yang dihasilkan oleh zat perekat yang bernama glial. Semakin banyak myelin diproduksi semakin banyak dendrit yang tumbuh, sehingga akan makin banyak synap, yang berarti pula menjadi semakin banyak neuron yang menyatu membentuk unit-unit; (3) kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit; (4) lingkungan yang baik akan mampu mengembangkan neuron tersebut; (5) usia perkembangan otak yang layak adalah 10-12 tahun; (6) usia menjelang dewasa terjadi perubahan yang kian meningkat akibat metabolisme dari perkembangan badaniah. Epstein juga mengemukakan bahwa otak manusia terdiri dari dua belahan, yakni otak kiri dan otak kanan. Kedua belahan otak ini melakukan fungsi yang berbeda-beda. Dikatakan juga bahwa perubahan kemampuan berpikir akan mengubah cara pandang seseorang baik tentang dirinya sendiri maupun tentang dunia luar.
Dalam dunia afektif, totalita diri yang utuh tidak hanya sempurna kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotor. Ketiga ranah ini bersifat interadiatif. Proses pembelajaran yang utuh atau sempurna akan melahirkan keutuhan dan kebulatan dari ketiga ranah tadi, yang pada giliran berikutnya melahirkan kebermaknaan isi pesan bagi individu yang belajar dan kebesaran sang Pencipta. Dari sisi lain, proses pembelajaran yang parsial hanya akan melahirkan manusia yang arogan, dan terlalu mendewakan kemampuan otak. Dengan kata lain, proses penyelenggaraan pendidikan harus didasarkan atas proses pendekatan yang holistik.
Dunia afeksi memahami manusia baik secara eksplisit maupun implisit dari: (1) manusia bersifat multifleks: multi kodrati, multi fungsi-peran, atau mono-pluralistik; (2) manusia memiliki sense of (kepedulian akan sesuatu); value of (menghargakan sesuatu) dan conscience of (kesadaran akan sesuatu). Karena dua hal tersebut, maka manusia menjadi unik.

B. Hakekat Nilai Moral
Banyak kekeliruan yang telah dilakukan dapat kehidupan praksis. Orangtua terlalu ambisius ingin menjadikan anaknya sesuai dengan kehendak dan cita-citanya. Para guru mengabaikan pola dan iklim kehidupan nyata anak didik. Pendidik juga menyepelekan nilai-nilai yang ada di sekolah. Kekeliruan seperti ini tidak bisa dibiarkan karena potensi moralitas sesungguhnya sama dahsyatnya dengan bom nuklir.

1. Pengertian Nilai – Moral dan Norma
Kehidupan individu tidak dapat dilepaskan dari sistem nilai dan sistem keyakinannya. Sistem tersebut menuntut setiap individu untuk berperilaku agar sesuai dengan tuntutan tersebut. Nilai yang oleh Fraenkel (1983) disebutnya human mind atau human value, dalam terminologi Rokeah (1971) ada dalam dalam diri setiap individu.
Penulis buku Menelusuri Dunia Afektif memandang nilai sebagai harga yang diberikan oleh seseorang/kelompok individu terhadap sesuatu. Harga tersebut ditentukan oleh value system dan belief system yang ada dalam diri/kelompok yang bersangkutan. Landasan dan tuntunan penentuan harga yang utama adalah sistem keyakinan. Dijelaskan pula bahwa nilai adalah isi-pesan, semangat atau jiwa, atau kebermaknaan yang tersirat atau dibawa oleh sesuatu.
Dari pembahasan tentang nilai, tampak jelas bahwa nilai sangat pribadi sifatnya. Sesuatu yang diyakini oleh individu akan meng-characterized atau menjadi milik pribadinya, dan ini akan tampak dalam setiap sikap dan perilakunya.
Moral berbeda dengan nilai. Moral berada di luar diri individu. Moral merupakan tuntutan atau keharusan dari orang lain atau kelompok masyarakat di mana yang bersangkutan berada, atau menjadi warganya. Konsepsi ini sesungguhnya sama dengan subjective norm dalam konsepsi Fisbein dan Ajzen (1980) serta Ajzen (1987) tentang sikap dan perilaku manusia. Hanya dalam konsepsi subjective-norm, tuntutan atau keharusan dari orang lain atau kelompok lain adalah signifikance others, dan orang-orang yang dianggap penting oleh individu inilah yang menuntunnya untuk berperilaku atau tidak berperilaku. Menurut penulis buku Menelusuri Dunia Afektif, bila keharusan itu mampu diterima dan mempribadi (personalized), maka moralitas tadi menjadi suara hati (nilai) sehingga apa yang dilakukan individu tidak lagi merupakan keharusan dari luar, bahkan menjadi kebutuhan moral (moral obligation).
Keutuhan makna moral dikemukakan oleh Atkinson. Menurutnya ada tiga kualifikasi moral yang membentuk moralitas individu, yakni: (1) moral ethics, meliputi: the intrinsic value of moral, principle of right or wrong that a particular group aspect; (2) imperative moral, yang bersifat hypothetical imperative, dan (3) moral action; yang mencakup restricted actions, determinate morals, social morality or conduct yang berlaku bagi setiap individu dalam segala kehidupannya.
Norma adalah tatanan aturan hukum yang dianut dan diterima serta dilaksanakan masyarakat (meskipun mungkin tidak ada sanksi bagi pelanggarnya) karena sudah memiliki kekuatan normatif. Sumber-sumber keyakinan individu akan kekuatan normatif bisa saja meta-fisis, tetapi bisa juga legal formal.
Dalam pendidikan nilai, pembinaan keseimbangan antara kekuatan desonansi dan resonansi harus dicermati dengan seksama pada saat merancang program pembelajaran. Disamping itu, prinsip keseimbangan ini harus juga diperhatikan pada saat pembinaan afektual. Penulis buku Menelusuri Dunia Afektif menyatakan bahwa salah satu model yang dapat digunakan adalah model Teori Optimalisasi target atau Konstruktif dan Minimalisasi Target Negatif atau Naif.

2. Dunia Afektual
Dunia afektual merupakan hal ihwal afektual mengenai sifat-karakteristik, struktur dan isi substansinya. Kemampuan afektual ini sepertihalnya kemampuan domain lainnya, mutlak perlu pembinaan dengan jalan membelajarkannya atau mengaktifkan atau melibatkan untuk bertransaksi. Model pembelajaran yang melulu atau terlalu berorientasi pada kognitif atau psikomotor hanya akan menumpulkan afektual anak didik.
Setiap manusia yang utuh paripurna memiliki tiga potensi dengan 8 potensi afektual. Tiga potensi yang dimaksud adalah kognitif, afektif dan psikomotorik, sedangkan delapan potensi afektif adalah (a) emosi, (b) perasaan, (c) cita-cita atau citarasa, (d) kemauan, (e) kecintaan, (f) sikap, (g) sistem nilai, dan (h) sistem keyakinan. Adalah tidak tepat bila ada orang menyatakan bahwa “banyak orang sekarang yang tidak memiliki rasa malu, kurang cinta terhadap tanah air dan sebagainya”. Yang benar adalah semua rasa malu itu ada dalam diri manusia namun substansi dan kualifikasi malunya yang tidak ada atau bergeser moral atau value based dan claim-nya.

3. Jenis dan Sumber Nilai Moral
Ada dua jenis nilai moral, yakni (a) nilai obyektif-universal, dan (b) nilai subjektif-temporer. Nilai obyektif-universal adalah nilai hakiki yang ada pada sesuatu atau hal yang bersifat pribadi namun diterima di manapun. Nilai dasar ini dioperasikan dan difungsikan oleh faktor instrumental, seperti manusia, tempat/kondisi dan waktu. Karena kepentingan tertentu atau keadaan tertentu, seringkali nilai dasar yang semula obyektif-universal berubah menjadi subyektif-temporer. Oleh sebab itu, tidak heran jika nilai dasarnya sama dan sumbernya juga, menjadi nilai yang berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lain.
Isi dan warna nilai moral yang dianut oleh setiap individu/kelompok individu dipengaruhi oleh jenis sumber nilai. Penulis buku ini menyatakan bahawa sumber tersebut adalah astragatra, yang terdiri dari pancagatra dan trigatra.

4. Struktur dan Indikator serta Afektualisasi
Salah satu tugas pendidikan adalah memberikan bekal pengetahuan untuk meningkatkan potensi diri peserta didik, melalui pemberian beragam pengalaman belajar sesuai dengan target substansial atau pola proses KBM-nya. Dengan pola KBS diharapkan hasil belajar yang berkualitas tinggi dapat diperoleh.Hasil belajar demikian tampak dari struktur potensi pada diri siswa yang lebih tinggi dan lebih tajam, daya nalarnya berkembang, kepekaan afeksinya tinggi serta secara psikomotorik trampil melakukan sesuatu. Pola pembinaan bahan ajar dan proses ajar yang demikian adalah proses pembentukan atau pola pembinaan manusia seutuhnya dan sekaligus juga proses pembinaan substansi secara utuh-bulat.
Secara substansial bahan ajar, bila dilihat dari tujuan belajar, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) bahan ajar kogntif yang meliputi:data, fakta, konsep, generalisasi, teori, dalil dan hukum/norm;. bahan ini menuntut dimengerti secara nalar; (b) bahan ajar afektual yang meliputi: nilai dan moral serta norma/keyakinan/prinsip dan sejenisnya; yang menuntut siswa untuk meresepsi dan meyakini, meskipun tidak mustahil juga harus dinalar; (c) bahan ajar psikomotorik yang meliputi: ketrampilan teknis/sosial dan aturan permainan atau cara perbuatan, bahan yang harus diramahi dan dibudayakan. Pola pembelajaran yang sempurna adalah kalau substansinya dikaji secara cermat dan ditelaah pula indikatornya.

C. Pendidikan Nilai dan Pendekatannya
1. Esensi Pendidikan Nilai
Secara substansial, isi pokok pendidikan nilai harus dikembalikan pada nilai-nilai dan ideologi dasar yang tertera dalam UUD 1945, Pancasila yang murni, dan secara prosedural bertahap disempurnakan menuju pola pendidikan nilai-moral yang demokratis-humanistik. Perkembangan baru di dunia berbangsa dan bernegara tetap dapat diikuti dan diserap sepanjang ajeg dan tidak bertentang-an dengan nilai-nilai moral dan norma dasar budaya Indonesia (Pancasila) yang diwujudkan dalam nilai instrumental, ketetapan MPR dan seperangkat peraturan perundangan lainnya. Kalau ini dilakukan, maka nilai-moral baru akan selalu tetap terkendali dan terarah pada cita-cita ideal yang tersirat dalam falsafah Pancasila, dan isi pesan UUD 1945.

2. Pendidikan Nilai Moral dalam Keluarga
Keluarga sebagai lembaga sosial yang paling primer dan paling menentukan karakter diri individu. Orangtua umumnya, ibu atau bapak khususnya, serta adik-kakak dan atau sanak keluarga amat menentukan karakter dasar seseorang. Fatwa-ftwa agama sering menjadi dasar atau kepercayaan budaya sering mewarnai bagaimana orang-orang dalam keluarga berperilaku atau memperlakukan anak dalam keluarga. Perlakuan seperti ini akan mewarnai perilaku dari anak yang bersangkutan.

3. Pendekatan Pendidikan Nilai
Hakekat pendidikan nilai-moral adalah: (a) proses pembinaan, pengembangan, dan perluasan struktur serta potensi dan pengalaman belajar afektual manusia secara layak serta manusiawi; (b) proses pembinaan, pengembangan dan perluasan isi/substansi seperangkat nilai-moral dan norma ke dalam tatanan nilai dan substansi yang interadiatif – dalam arti substansi tidak mungkin mempribadi kalau potensinya tidak terdidik; (3) proses pembelajaran terjadi, bila perangkat potensi diri afektual terpanggil dan terlibat melakukan proses pelakonan diri, dan ini hanya mungkin terjadi kalau substansinya layak.
Manusia dalam membaca, menafsirkan, dan/atau mengambil keputusan menempuh berbagai pola pikir atau pendekatan, yakni: (a) rasional-keilmuan, (b) qalbiyah; (c) metafisis yang mungkin religius atau mitologis/natural; dan (d) antropologis yang menitikberatkan pada landasan budaya.

Pendidikan nilai sebagai cara menyikapi atau sudut pandang adalah landasan atau rasional yang menjadi dasar atau pangkal tolak rekaya pelaksanaan. Dalam menentukan pilihan pendekatan, target harapan serta pola pikir dan falsafah orang atau masyarakat yang bersangkutan amat menentukan. Saat menentukan pilihan pendekatan, tolok ukur yang digunakan hendaknya adalah nilai-moral dan norma Pancasila, budaya dan agama masyarakat.
Thomas Lickona (1976) mengemukakan adanya 5 model pendekatan nilai yang bisa digunakan: (a) perkembangan moral kognitif, yang dipelopori oleh L. Kolberg, yang meyakini proses kognitif, khususnya afektif hanya mampu berkembang bila terjadi konflik kognitif dan penalaran; (b) perkembangan moral afektual, antara lain dianut oleh L. Metcalf, Justian Aronfeed, Imam Ghazali, yang meyakini bahwa dunia afektual bisa dibina dan dididik melalui pendekatan dan strategi tertentu dengan esensi pendidikan adalah mempribadikan nilai- moral norma; (c) Perkembangan moral sosial atau model regulasi diri (self-regulation), sebagaimana dianjutkan antara lain oleh Walter Michel, A. Bandura, dan Skinner serja sejumlah Sosiolog modern; (d) perkembangan moral-biologis (biological moral development) seperti dikenalkan oleh H.J. Eysenk, yang pada hakekatnya mengharuskan keterkaitan pembinaan pendidikan nilai dengan perkembangan biologis manusia. Dalam teori pendidikannya khususnya PVCT masalah kualifikasi dan karakter diri siswa memang menjadi salah satu dasar pertimbang-an; (e) Pembinaan nilai-moral norma secara holistik, tokoh utamanya Elizabeth Leonie & Simpson, yang mendalilkan keharusan pembinaan diri manusia secara holistik. Pendidikan nilai hanya akan berarari dan manusiawi kalau ketiga potensi diri manusia dilibatkan dan dibina.
Douglas Superka seperti dikutip Peter Martorella (1976) mengemukakan 8 pendekatan dalam pendidikan nilai: (a) envocation, yang memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk merespons stimulus pengajaran secara spontan; (b) inculcation, pemberian stumulus terarah atau stimulus mendalam yang sugestif kepada siswa yang direspons secara terarah pula sehingga menghasilkan hasil belajar yang terarah; (c) moral reasoning, pemberian stimulus transaksional agar melalui kemampuan berpikir tinggi dihasilkan pemcahan terhadap suatu masalah moral; (d) value clarification, melalui pemberian stimulus kepada siswa untuk mengklarifikasi dan melakukan penalaran terhadap nilai-moral norma baik yang obyektif maupun subyektif; (e) value analysis, pemberian stimulasi dalam bentuk media untuk dianalisis nilai-nilai yang terkandung didalamnya oleh siswa; (f) moral awareness, pemberian stimulasi yang mampu melibatkan struktur diri siswa sehingga terbentuk pendirian yang mantap dalam diri siswa; (g) commitment approach, pembuatan komitmen guru-siswa sejak awal mengenai tolok ukur keberhasilan belajar; (h) union approach, secara programtik-substansial, kegiatan belajar siswa dipadukan dengan realitas kehidupannya.

4. Permasalahan dalam Pembelajaran Afektual
Beberapa hambatan dalam proses pembelajaran nilai, antara lain adalah: (a) kemahiran menentukan dan membuat media stimulasi pendidikan yang berkadar tinggi sehingga mampu mengundang partisipasi yang aktif dan terbuka dalam pembelajaran; (b) kemampuan membina proses kegiatan belajar siswa yang serasi sehingga tidak timbul gejolak “over and under active activities”; (c) adanya gejolak selama kegiatan pembelajaran; (d) pembelajaran gersang yang selalu dipelihara, dan (e) kemampuan mengurangi desonansi kognitif atau lainnya.

D. Tahap Perkembangan Moral
Kohlberg menjelaskan bahwa moral berkembang dari sesuatu yang dirasakan imperatif menjadi sesuatu yang dirasakan layak. Jadi dari sifat eksternal – terpaksa – takut – menjadi internal - sukarela – ikhlas dan sadar.
Menurut Peter, moral diri individu dilandasi oleh dua landasan perhitungan, yakni: (1) cognitive motivation aspect, antisipasi proyektif dari resiko yang mungkin ditimbulkan oleh suatu keputusan baik bagi dirinya maupun orang lain, dan (2) affective motivation aspect, perhitungan emosioal/afektual yang akan ditimbulkan oleh suatu keputusan baik bagi dirinya maupun orang lain.
Lovinger mendefinisikan teori perkembangan Pieget ke dalam tahapan perkembangan sebagai berikut:
1. Fase autonomous, yang terdiri tahapan sebagai berikut:
a) Impulse control, di mana dasar orientasi difokuskan untuk menekan atau mengurangi konflik;
b) Interpersonal style atau interdependency style, lebih mempola kesamaan dan keterkaitan dengan dasar pandangan orang lain;
c) Conscious pre accupation, mengutamakan konsep fungsi dan jabatan;
d) Cognitive style, mengutamakan kematangan dan kemampuan berpikir;
2. Fase integrated, yang meliputi tahapan sebagai berikut:
a) Impulse control, di mana dasar orientasi difokuskan untuk menekan atau mengurangi; dan menyelaraskan konflik batin
b) Interpersonal style atau interdependency style, lebih mempola kesamaan dan keterkaitan dengan dasar pandangan orang lain; serta menyelaraskan dirinya dengan keselarasan orang lain;
c) Conscious pre accupation, mengutamakan konsep fungsi dan jabatan; serta mampu membina identitas diri sendiri;
d) Cogntive style, mengutamakan kematangan dan kemampuan berpikir.

E. Proses Pendidikan Nilai Moral
Pembelajaran afektual secara praksis sebenarnya sudah ada sejak peradaban dan kepercayaan atau agama manusia tumbuh, berkembang dan dilestasikan turun temurun. Hanya sebagai rekayasa ilmu pendidikan (dalam arti sistematik-konseptual, terstruktur dan terarah, serta menjadi kajian khusus) merupakan hal yang relatif baru.

1. Karakteristik Pembelajaran Nilai Moral
Ada sejumlah ciri yang dapat dikenali dalam pendidikan nilai, yakni: (a) dunia afektif adalah bagian dari totalitas diri manusia (internal) maupun dunia di luar dirinya; (b) masalah pembinaan nilai-moral adalah masalah pembinaan kejiwaan, oleh karena itu postulatnya harus dipahami; (c) proses pendidikan nilai hanya bisa terjadi apabila teori dan/atau prinsip mengenai hal ini dapat dipahami dan diterapkan sejak kegiatan perencanaan program pengajaran sampai pola penilaian serta pasca kegiatan pembelajarannya; (d) proses pendidikan nilai memerlukan sejumlah prasyarat kesiapan dan keterbukaan serta kemampuan afektual siswa, suasana dan lingkungan belajar, pemahaman dan kemampuan serta pribadi guru dan pola proseduralnya; (e) Keberhasilan proses dan hasil kegiatan pembelajaran pendidikan nilai tergantung pada kejelasan target harapan nilai-moral yang harus dipersonalisasi dan kejelasan bahan ajar serta kehandalan dan keterjangkauan media pembelajarannya; (f) kemahiran profesional guru “mengemas isi pesan, serta kemahiran tampilannya untuk mengundang dan melibatkan potensi afektual siswa; (g) pemahaman dan penerapan berbagai azas pendidikan antara lain humanistik; (h) sasaran dan pola pembelajaran nilai harus utuh-bulat (substansinya maupun target potensinya) berkesinambungan antar domain taksonomik; (i) target harapan nilai-moral sesuai dengan isi pesan yang dituntut kurikulum; (j) keharusan mengkaitkan interaksi kegiatan pembelajaran dengan lingkungannya; (k) pembinaan nilai-moral dilakukan sedini mungkin, bertahap, sekuensial dan terus menerus; (l) bersifat individual dengan proses terpadu yang bervariasi.
Sejumlah faktor penentu yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan proses pendidikan nilai-moral adalah: (a) guru: kesiapan kompetensi dan profesionalnya memadai diiringi pemahaman dan kemampuan teknis untuk ber-VCT; (b) siswa: kemampuan untuk melaksanakan hal teknis VCT, keterbukaan diri dan keberanian berekspresi, kebiasaan belajar berdemokrasi; (c) suasana belajar: suasana hangat, bebas namun terkendali dan terarah serta humanistik.

2. Pilihan Model Pola Prosedural Pendidikan Nilai
Pola prosedural yang dimaksud adalah model tata cara yang bisa digunakan dalam membelajarkan struktur afektual siswa sehingga tercipta proses pelakonan. Proses pendidikan nilai sebagaimana dinyatakan oleh Elizabeth Flyn harus mampu menggetarkan subjek didik dalam merasakan keberadaan dan esensinya nilai moral, menyerap dan menjadikannya sebagai norma acuan.
Thomas Lickona (1980) menampilkan model operative-process, yakni: (a) human learning community yang komunikatif-terbuka sehingga tercipta hubungan yang akrab satu dengan lainnya, dan saling berbagi ide; (b) cooperative learning dan helping relationship sehingga siswa mampu bekerjasama, saling membantu dan melatih ketrampilan hidup mereka, melalui interaksi yang kooperatif, komunikasi interpersonal, kerjasama, saling menghormati, serta pembentukan harga diri; (c) social and moral discussion, proses beragumentasi secara penuh pengertian dalam bentuk pelatihan kemahiran diri dan sosialisasi; (d) partisipatorik dalam pengambilan keputusan sebagai pilihan berdemokrasi.
Skinner, Albert Bandura, dan Kounin mengetengahkan prinsip-prinsip dalam moral social and behavioral development, sebagai berikut: (a) kegiatan pembelajaran difokuskan kepada apa yang harus dilakukan, apa yang terjadi dan bagaimana akibatnya. Peran utama guru adalah fasilitator; (b) perilaku yang mantap hanya terjadi kalau hal itu dilakukan dengan penuh kesenangan dan kesukaan siswa.


BAB III KAJIAN BANDING

Hakekat manusia adalah utuh dan terintegrasi. Adanya pembagian diri manusia dalam ranah-ranah pada dasarnya hanya pembagian teoretis untuk kemudahan dalam analisis dan pilihan dalam proses pembelajarannya. Berpikir atau berbuat hampir selalu dibarengi dengan emosi, feeling, sikap atau nilai-nilai tertentu. Peran guru dalam kegiatan pembelajaran harus mampu membina, meningkatkan, serta mengembangkan ranah-ranah tadi menuju kelengkapan yang utuh dan bulat serta mampu mencapai tingkat kawasan ranah yang tinggi.
Dalam struktur kurikulum pendidikan di Indonesia, materi pelajaran sifatnya “given”. Proses pembelajaran yang sifatnya menyalin, hapalan, dan sejenisnya hanya mendorong pembinaan domain yang partial dengan kawasan ranah yang rendah. Seorang guru harus menyadari bahwa pola belajar dan kebiasaan belajar merupakan pola baku penggunaan potensi domainnya itu dalam kehidupan. Tanpa latihan dan pembinaan, potensi kawasan (ranah) yang bersangkutan menjadi tumpul.

A. Kohlberg tentang Pendidikan Nilai-Moral
Kohlberg yang memodifikasi dan mengelaborasi teori Piaget mengidentifikasi 6 (enam) fase penalaran moral yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga level besar. Level pertama adalah pra-konvensional, yang terbagi kedalam dua tahap yakni: (1) tahap 1, berorientasi pada nilai-nilai yang bersifat heterogen: hukuman versus ganjaran yang bersifat fisik; (2) tahap 2, orientasi yang berfokus pada nilai-nilai instrumental: nilai pragmatis dalam melakukan suatu tindakan. Level kedua adalah penalaran konvensional, yang juga terdiri dari dua tahap, yakni (3) tahap 3, orientasi pada norma yang sifatnya lokal: kesadaran untuk berbagi rasa dengan individu lain; (4) tahap 4, orientasi norma yang lebih luas: di sini individu berpikir bagaimana menjadi “anggota masyarakat”. Level ketiga adalah pasca konvensional, yang juga terdiri dari dua tahap, yakni: (5) tahap 5, penalaran yang berorientasi pada aturan dan norma yang melandasi tindakan, dan (6) tahap 6, penalaran tidak lagi sekedar dilandasi aturan dan norma, tetapi juga penolakan atau persetujuan terhadap norma yang diberlakukan secara seragam.
Dengan menggunakan teori perkembangan moral yang ditemukannya, Kolhberg menolak praktek pendidikan karakter tradisional yang menempatkan contoh-contoh perilaku bermoral sebagai basis pendidikan. Menurut Kolhberg, pendekatan yang baik untuk pendidikan moral adalah berfokus pada tahap perkembangan moral.
Tujuan pendidikan nilai-moral menurut Kohlberg adalah mendorong individu mengembangkan fase penalaran moral yang lebih tinggi. Proses pembelajaran yang baik untuk pengembangan moral adalah proses equilibrasi, sedangkan alat yang paling umum digunakan adalah dengan menyajikan “dilema moral”.

B. Huitt tentang Perkembangan Moral dan Karakter
Menurut Huitt, karakter berbeda dengan nilai-nilai. Nilai-nilai adalah orientasi atau kecenderungan di mana karakter menandai perilaku, atau aktivasi pengetahuan dan nilai. Nilai dianggap sebagai salah satu fondasi bagi karakter. Dalam konteks model perilaku manusia, Huitt memandang nilai memiliki dua muatan, yakni kognitif dan afektif, tetapi tidak mesti bermuatan konatif atau komponen perilaku.
Dalam hal pengembangan moral dan karakter, Huitt agaknya sepakat dengan Campbell dan Bond. Menurut mereka, 4 target dari pendidikan moral dan karakter adalah: (1) kriteria karakter yang baik, (2) faktor yang mempengaruhi-nya; (3) cara pengukurannya; dan (4) cara terbaik dalam pengembangannya. Menurut Huitt, pendidikan modern semestinya tidak hanya mengembangkan nilai-nilai yang cocok dengan dunia industri (seperti ketaatan pada yang memiliki otoritas, etos kerja, dan kegairahan bekerja di bawah pengawasa), tetapi juga nilai-nilai yang memadai untuk hidup di era informasi seperti kejujuran, integritas, tanggung jawab individual, kebijaksanaan, keadilan, ketergantungan, dan sebagainya.
Dalam menghadapi problem nilai-moral yang terjadi di masyarakat, Huitt melihat sekolah sebagai institusi yang memegang peranan penting. Solusi terhadap masalah sosial lebih mungkin dipecahkan melalui pendidikan nilai-karakter di sekolah.
Menurut Huitt, banyak hal berkenaan dengan pendidikan moral-karakter di sekolah: (1) adanya asumsi bahwa pendidikan moral-karakter merupakan sesuatu yang berada di luar ikatan kurikulum yang sebenarnya; (2) kenetralan nilai; (3) mengajar siswa dengan proses yang spesifik dengan asumsi bahwa keputusan moral-karakter dibuat secara rasional; (4) diskusi tentang isu moral yang relevan; (5) mengajar siswa dengan seperangkat nilai, dan (6) penggunaan pendekatan inculcation, pendidikan nilai, analisis dan perkembangan moral.
Perkembangan karakter dalam sistem model perilaku manusia menurut Huitt terdiri dari tiga komponen hati-nurani, yakni kognisi, rasa, dan tindakan). Komponen kognisi terdiri dari pengetahuan tentang baik-buruk serta proses kreatif untuk membuat keputusan moral. Proses pembelajaran harus meletakkan dasar bagi pemberian pengetahuan tentang baik-buruk agar individu dapat membuat keputusan moral yang kreatif. Tiga komponen (kognisi, rasa, dan tindakan) akan mempengaruhi apa yang disebut Huitt sebagai overt behavior (perilaku nyata). Perilaku ini memiliki dua aspek, yakni: personal virtue dan social vertues.
Huitt tampak sepakat dengan Bandura dalam hal pendekatan pembelajaran nilai-moral atau karakter. Menurutnya, proses pembelajaran nilai-moral dan karakter lebih mengacu pada Theory of Social Learning atau Theory of Social Cognition.

C. Thomas Lickona tentang Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Pada awalnya, tujuan pendidikan karakter adalah membantu peserta didik menjadi orang yang cerdas, dan baik. Oleh sebab itu, pendidikan persekolahan melaksanakan pendidikan karakter dengan cara disiplin, pemberian contoh oleh guru, serta aktivitas sekolah sehari-hari. Kitab suci dijadikan dasar untuk pendidikan moral dan karakter.
Pada perkembangan berikutnya, pendidikan karakter mengalami kemunduran. Masuknya, logika positivisme mengakibatkan orang memisahkan secara tegas antara fakta dan nilai. Ini menjadi awal keruntuhan pendidikan karakter.
Pada tahun 1990-an, di Amerika Serikat bangkit kembali gerakan tentang perlunya pendidikan karakter. Sekurang-kurangnya ada tiga sebab, mengapa pendidikan karakter menjadi perhatian kembali masyarakat Amerika Serikat: (1) menurunnya fungsi keluarga: dari biasanya sebagai tempat bersemayamnya nilai-nilai menjadi gagal memainkan peran tersebut; (2) kecenderungan adanya karakter jalan pintas di kalangan anak muda: ketidakjujuran, ketidakpatuhan terhadap hukum dan otoritas, kekejaman antar sesama; etos kerja yang menurun, hubungan seksual pranikah yang belum waktunya; dan segala bentuk perilaku destruktif lainnya: (3) tuntutan hak asasi manusia mendorong tumbuhnya pendidikan karakter agar individu yang satu mau menghargai individu yang lain.
Untuk mengembangkan karakter yang baik di kalangan generasi muda, Lickona mengatakan bahwa pendidikan karakter semestinya melakukan analisis tentang teori yang memadai mengenai karakter yang baik. Sekolah dalam hal ini harus membantu peserta didik memahami inti nilai, mengadopsi nilai-nilai inti tersebut, serta mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam praktek di kelas, pendekatan komprehensif untuk pendidikan karakter meminta setiap guru untuk: (1) bertindak sebagai caregiver, model, dan mentor; (2) membangun moral masyarakat di sekolah; (3) latihan disiplin moral; (4) membangun lingkungan kelas yang demokratis; (5) mengajarkan nilai-nilai melalui setiap materi kurikulum; (6) penggunaan pendekatan belajar kooperatif; (7) mengembangan kesadaran untuk berbuat baik; (8) mendorong tumbuhnya refleksi moral; (9) mengajarkan cara-cara pemecahan konflik; (10) membangun kultur moral yang positif di sekolah, serta (11) pelibatan orangtua dan masyarakat dalam pendidikan karakter.
Tantangan ke depan pendidikan karakter menurut Lickona adalah: (1) dukungan terhadap sekolah: bisakah sekolah merekrut siapa saja yang bisa membantu sekolah membangun nilai-nilai? (2) peran agama: apa kewajiban orang kaya terhadap si miskin? Bolehkah melakukan hubungan seks sebelum menikah? (3) kepemimpinan yang bermoral: bagaimana kultur moral di sekolah; (4) pendidikan guru: bagaimana lembaga pendidikan guru dan stafnya dapat memenuhi pendidikan karakter yang baik?

D. Abu Bakr Jabir Al-Jazairi tentang Etika
Orang Islam adalah orang meyakini bahwa kehidupan ini akan selaras dan seimbang kalau setiap muslim mentaati etika-etika yang diatur dalam kehidupan keagamaan. Orang muslim memandang bahwa Allah SWT telah menentukannya, memuliakannya, bahwa bagi manusia tidak ada tempat untuk melarikan diri, tidak ada tempat untuk menghindar dariNYA, dan Allah adalah tempat meminta perlindungan. Allah SWT telah mengatur semua yang ada di muka bumi. Aturan Allah SWT itu melahirkan etika dalam kehidupan muslim.
Menurut Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, ada sejumlah etika yang harus diperhatikan oleh setiap muslim, yakni etika: (1) berniat, (2) terhadap Allah, (3) terhadap Rasullullah, (4) terhadap diri sendiri, (5) terhadap kedua orangtua, (6) terhadap anak, (7) terhadap tetangga, (8) hak seorang muslim, (9) persahabatan, (10) dalam pertemuan, (11) menghormati, (12) dalam perjalanan, (13) berbusana, dan (14) tidur. Etika ini semestinya mengkristal dalam kehidupan setiap muslim. Kristalisasi ini hanya mungkin kalau semua unsur instrumental yang ada baik di rumah tangga, lingkungan masyarakat, maupun sekolah mendukung terbentuknya etika tersebut.

BAB IV ANALISIS PEMBAHASAN
Pendidikan nilai-moral dan norma sejak kurikulum 1975 dilaksanakan hingga sekarang tampak bergeser dari esensinya sebagai pembentukan karakter yang baik. Pelaksanaan pendidikan nilai-moral dan norma sejak tahun tersebut hingga kini tidak lebih dari sekedar pengajaran nilai-moral yang indoktrinatif. Tidak heran hasil belajar pendidikan nilai-moral hanya menjadi konsumsi kognisi untuk digunakan pada saat ada ujian. Hampir tidak ada dari hasil belajar tersebut yang masuk ke hati, apalagi kemudian merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penyebab di balik semua kegagalan di atas adalah pendidikan persekolah-an yang terlalu mengedepankan aspek kognisi siswa. Jadi, tidak salah kalau penulis buku Menelusuri Dunia Afektif, Kohlberg, Huitt maupun Lickona memandang betapa penting memikirkan kembali peran sekolah dalam pendidikan afektual.
Bagi pendidikan afektual, pesan terpenting yang harus disampaikan adalah bahwa ada perubahan sikap dan perilaku di kalangan peserta didik yang mengarah pada aturan atau norma-norma yang ada di masyarakat dan/atau di bangsa dan negaranya. Target ini ternyata hampir tidak pernah tercapai, karena proses pendidikan yang ada tidak memiliki aktivitas yang memadai untuk mendorong siswa merefleksi dan berafeksi secara kritis. Proses pendidikan nilai tidak atau belum menyentuh ke dasar hati peserta didik sehingga tidak memberikan pengalaman nilai-moral yang mampu menumbuhkan kesadaran nilai moral yang tinggi. Perilaku mereka tetap tidak berkembang ke arah yang makin manusiawi, melainkan tetap naluriah-alami. Atau kalau sudah pada taraf manusiawi, orientasinya masih pada nilai-nilai manusiawi yang rendah.
Pendangkalan pendidikan terjadi pada beberapa level: tujuan, proses, isi mater, hasil dan level sektoral. Eksistensi pendidikan nilai di Indonesia, sebagaimana diungkapkan dalam buku Menelusuri Dunia Afektif sebenarnya tampak jelas dalam UUD 1945. Persoalan terjadi, pada saat landasan ideologis-normatif pendidikan itu diterjemahkan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan yang berlevel rendah. Di sini terjadi pendangkalan yang luar biasa, dan pendangkalan itu sangat mungkin disebabkan pemahaman yang keliru mengenai taksonomi hasil belajar Bloom yang menjadi landasan kerja guru (the bread of coverage dari taksonomi bloom bersifat hierarkis; boleh jadi rumusan tujuan belajar yang diharapkan dari siswa hanya tujuan tingkat rendah).
Kelembagaan pendidikan guru (LPTK: FKIP dan eks IKIP) sebagaimana diklaim oleh Lickona, maupun Huitt sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pendidikan nilai-moral, juga tidak dapat melepaskan diri dari kesalahan pendidikan nilai di Indonesia. Kesalahan sistemik pendidikan guru, justru menjadi penyebab paling besar terhadap gagalnya pendidikan nilai di Indonesia.
Istilah pendidikan nilai di sini memang terasa agak janggal untuk digunakan karena yang menjadi sasarannya adalah nilai- nilai itu sendiri, bukan orang atau peserta didik. Pendidikan nilai cenderung diartikan penanaman nilai atau bahkan pengajaran nilai. Pemaknaan yang demikian akan mempersempit lingkup pendidikan nilai, dan bahkan cenderung berkonotasi kognitif semata. Walaupun aspek kognitif menjadi dasar untuk berafeksi, namun belum cukup bila nilai sekedar diketahui. Yang dibutuhkan justru bagaimana peserta didik berperilaku sesuai dengan nuraninya namun juga sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan bangsanya.
Para pendidikan di sekolah dalam praktek pendidikan nilai cenderung membatasi diri pada perannya sebagai pengajar, tidak sebagai caregiver yang mampu menginternalisasi nilai-nilai moral kepada anak didiknya. Para pendidik biasanya sekedar berusaha agar para peserta didik memiliki kesadaran nilai dan memotivasi siswanya untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dan negaranya.
Internalisasi nilai-nilai moral dan norma sesungguhnya bukan menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran yang bermuatan nilai moral dan norma, namun juga menjadi tanggung jawab semua guru. Jadi, apapun subjek yang diajarkan di sekolah, guru harus bisa menginternalisasi berbagai nilai yang diemban oleh mata pelajaran tersebut.
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Manusia pada hekekatnya memiliki potensi utuh-integratif yang memiliki peluang untuk berkembang. Potensi tersebut mencakup kognisi, afeksi dan perbuatan.
2. Pengembangan salah satu potensi manusia mengakibatkan, perkembangan manusia menjadi mengalami hambatan yang berakibat pada kehidupannya.
3. Selama ini ada kecenderungan bahwa pendidikan nilai dianggap sebagai wilayah pendidikan agama, dan PPKn semata. Padahal semua mata pelajaran memiliki tujuan nilai-nilai moral dan norma yang harus dicapai. Selain itu, ada pula kecenderungan bahwa pendidikan selama ini hanya mengacu pada keberhasilan aspek kognisi dalam belajar, dengan mengabaikan aspek afeksi siswa.
4. Tujuan pengajaran nilai adalah: (a) siswa mampu mengklarifikasi dan mengungkap dirinya; (b) membina, mengembangkan dan meningkatkan masalah afektual dengan cara yang wajar dan sesuai dengan potensi diri siswa; (c) membawa anak dalam dunia afektual sehingga mereka terlatih melakoni diri mereka sendiri; (d) melatih dan membina perbaikan kehidupan atau sosial; (e) membentuk sikap-sikap kontruktif; dan (f) menumbuhkan keadaran akan perlunya nilai-moral dalam kehidupan nyat a.
5. Berbagai pendekatan pembelajaran dapat digunakan dalam menanamkan nilai-moral, antara lain: PVCT, Cooperative-Learning, dan sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakr Jabir Al-Jazairi. 2002. Ensiklopedi Muslim. Minhajul Muslim. Jakarta: Darul Falah.

Ajzen, I., & Fishbein, M. (1987). Understanding Attitude and Predicting Social Behavior. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

A.Kosasih Djahiri. (1996). Menelusuri Dunia Afektif: Pendidikan Nilai dan Moral: Seri Pendidikan Nilai, Edisi Pembaharuan. Bandung: IKIP Bandung.

Fishbein, M., & Ajzen, I. (1982). Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research. London: Addison-Wesley Publishing Company.

Huitt, W. “Moral and Character Development”. Dalam A.Kosasih Djahiri (editor). (2002) Moral and Character Development, Teaching Value and Social Moral Development. Tanpa kota dan penerbit.

“Kolhberg’s Theory of Moral Development and Education”. Dalam A.Kosasih Djahiri (editor). (2002) Moral and Character Development, Teaching Value and Social Moral Development. Tanpa kota dan penerbit.

Lickona, Thomas. “The Return of Character Education”. Dalam A.Kosasih Djahiri (editor). (2002) Moral and Character Development, Teaching Value and Social Moral Development. Tanpa kota dan penerbit.

PROFIL


Irwan Baadilla
Lahir : Ambon, 11 Desember 1969
Alamat : Jl. Cempaka Baru I No.13 G RT.11 RW.06
Cemkapa Baru Kemayoran Jakarta Pusat 10640
Tlp. 021-4223637 Hp.081315314696
Istri : Rohimi Zamzam, Psy. SH. M.Pd
Anak : 1. Nabilah Nurfajri Maharani, Lahir 5 Mei 1998
2. Izzul Ilmi Muttaqin Al Zamzami, Lahir14 Febr 2001
3. Annisa Nurinayah Maulida, Lahir 19 Maret 2008

Pendidikan
· SI Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia Universitas Haluoleo Kendari Tahun 1994
· S2 Pengembangan Kurikulum Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tahun 2002
· S3 Pendidikan Nilai Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung 2009